Minggu, 17 Mei 2009

Papillon Studio

Semarang memiliki sebuah komunitas yang cukup berandil pada dunia komik Indonesia.

Awalnya Alfa Robbi, Adit, Ade Tiar dan Cahyo adalah teman satu geng yang suka komik dan ngomik kala SMP. “Nama geng kita Caterpillar. Karena kita pengin serius, dengan nama Caterpillar kita buka iklan di Suara Merdeka untuk cari anggota baru. Ternyata banyak yang datang,” tutur Alfa yang ditemui di studionya. Setelah itu mereka sepakat untuk menanggalkan nama Caterpillar. “Caterpillar kan kepompong, kita mau jadi kupu-kupu, Papillon,” ungkap Alfa. Jadilah mereka memakai nama itu dengan menambah Fajar Buana sebagai pendiri.

Papillon Studio sempat menempati rumah di Jalan Tengger. “Sebenarnya itu rumah milik Cahyo, salah satu anggota kami dulu. Karena ada ruang kosong disitu,” lanjutnya. Saat itu komik mereka, Boneka Kematian diterbitkan oleh salah satu penerbit komik besar di Indonesia.

Tak dinyana, setelah itu terjadi masalah diantara para pendiri. “Visi kami tidak sama lagi, jadi tinggal saya dan Fajar yang mengurus dengan beberapa anggota lain,” kenang Alfa. Papillon pindah ke Perum BPI Ngaliyan, tepatnya di garasi rumah orang tua Alfa. Kondisi itu berlangsung hampir lima tahun, 2002 hingga 2007.

Lima tahun cukup untuk mereka. “Kami merasa harus berbenah, merapikan manajemen. Refresh lah,” seloroh Alfa. Pada 17 Juli 2007 itu, Papillon Studio tampil dengan semangat baru. Logo pun mereka ganti. Mereka juga menempati studio baru di Perumahan Bukit Sendangmulyo hingga kini. Kru-kru Papillon yang aktif sekarang berjumlah lebih dari 10 orang. Diantaranya Alfa Robbi, Fajar Buana, Burhan Arif, Ida Sri Prabowo, Erik Senopati, dan Anang Setyawan sebagai seniman. Belum lagi kru yang mengurus manajemen.

Papillon juga menghadapi tantangan yang dialami oleh kebanyakan komikus Indonesia saat ini. Yaitu komik Indonesia yang belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Papillon bisa eksis hingga sekarang lebih dikarenakan menjadi pekerja komik bukan seniman komik. Dari situ Papillon mampu membeli rumah untuk menjadi studio beserta perlengkapan untuk berkarya seperti komputer, scanner dan meja gambar. “Kalau kamu melihat nama komikus yang terpampang di komik itu berarti dia adalah konseptornya. Tidak serta merta ia yang mengerjakan semuanya. Pasti ia membutuhkan asisten. Asisten itu penciler, inker dan colorist,” cerita Alfa yang saat ini menjabat sebagai ketua.

Papillon sekarang sedang menggarap pesanan komik dari sebuah penerbit di Amerika berjudul The Fro. The Fro bercerita tentang seorang remaja laki-laki yang mendapatkan kekuatan super dengan perubahan rambutnya menjadi kribo. Perihal bagaimana mendapat koneksi dari luar negeri Alfa bercerita, ”Kami dulu suka buka situs-situs komik. Lha di situ kan ada lowongan, dibutuhkan penciler lah, inker lah. Kami masuk. Terus dari situ kami bisa mendapat pesanan untuk komik dalam arti proses seluruhnya mulai dari penciler, inker dan colorist. Mereka pernah mengalami kejadian unik. "Kami saat itu mendapat pesanan komik dari luar negeri. Klien kami jujur kalau tidak punya uang buat bayar jasa kami. Terus kami ditawari minta apa selain uang. Kami minta komik. Akhirnya kami dikasih komik Spawn komplit.” ceritanya. Mereka juga pernah tak dibayar. Maklum, pekerjaan mereka berdasar atas kepercayaan.

Biasanya Papillon mendapatkan tawaran dari penerbit. Setelah tawaran diterima, si penerbit mengirimkan ide cerita plus skenario yang berisi dialog, narasi dan situasi yang terpisah per panel (halaman). Pertama tugas penciler yang menerjemahkan skenario per panel itu dalam komik. Kemudian setelah di-scan adalah tugas inker untuk menebalkan garis-garisnya. Terakhir adalah tugas colorist untuk memberi warna. Alfa mengaku jika dari Papillon mereka mampu menggantungkan hidup. “Paling cuma ada satu orang yang masih nyambi dengan pekerjaan lain,” cerita Alfa yang juga memiliki merek clothing, The Comics Stuff yang sudah tersebar di beberapa distro di Semarang.

Pappilon belum merasa puas dengan capaian mereka. Misi mereka memasyarakatkan komik Indonesia di negeri sendiri tampaknya masih jauh untuk diwujudkan. Ada beberapa komik indie yang sudah Papillon terbitkan seperti Milk Pool dan Odd Bugs. Milk Pool bertema nasionalisme dan persahabatan. Odd Bugs adalah komik untuk anak-anak. “Tapi Odd Bugs dikritik, kenapa harus pakai tokoh utama kecoa. Kecoa kan asosiasinya jelek-jelek, kotor-kotor.. ,” timpal Alfa. Sayangnya komik indie bikinan mereka belum mendapat sambutan yang positif. “Komik indie biasanya laris waktu acara-acara pameran seperti pada waktu kami pameran di Malang (Pekan Komik Animasi Nasional_red). Kalau di Semarang memang susah karena kita memang tidak distribusi kemana-mana, cuma di studio saja,” jelas Alfa.

Alfa memberikan pendapat perihal perkembangan komik Indonesia. Ia berharap pemerintah mempermudah akses pemasaran komik lokal. “Sekarang kan kesannya komik lokal tidak pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Komik nasional dibanjiri komik Jepang dan Amerika. Contoh aja sinetron Indonesia, itu kan jelek-jelek tapi karena ditayangin terus, penonton jadi suka,” imbuhnya. Pendapat berbeda dilayangkan Fajar,” Sebenarnya kita itu ndak usah terlalu mengharapkan pemerintah, wong urusan pemerintah masih banyak yang lebih penting kok. Kami merasa komik Indonesia sudah mulai bangkit jadi kita sebagai seniman tidak cara lain yang lebih baik selain action, action, action,” katanya bersemangat.

Dimuat di Jurnal Tanda edisi perdana

Museum Affandi Yogyakarta Memoar “Daun Pisang” Affandi

Di Jalan Jogja-Solo, di tepi barat Sungai Gajahwong. Sebuah lahan yang terkenal angker waktu itu. Dengan rimbunnya pohon-pohon bunga kamboja. Di sini sang maestro ekspresionis itu memilih rumah terakhirnya.


Affandi lahir di Cirebon tahun 1907 tanpa diketahui tanggal dan bulannya. Menamatkan HIS di Indramanyu dan MULO di Bandung. Sekolahnya di AMS Jakarta ia hentikan di tahun kedua karena dorongan besar untuk melukis. “Karier” melukisnya ia awali dengan menjadi tukang cat papan nama toko dan menggambar gambar reklame bioskop di Bandung. Pun menjadi tukang sobek karcis di bioskop yang sama di malam hari.

Tak puas dengannya kariernya, Affandi pindah ke Bali untuk menemukan jati diri. Hanya sebentar, ia kembali ke Bandung cemaskan keluarga karena invasi Jepang. Tahun 1943 di Gedung Poetra Jakarta. Pertama kali ia memamerkan karya-karyanya. Ia mulai dikenal, ia mulai mendapat tempat.

Di masa proklamasi, Affandi turut ambil bagian. Bung Karno memberi ide membikin poster. Poster bergambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Modelnya Dullah, temannya sesama pelukis. Chairil Anwar, penyair muda waktu itu memberi sumbangsih kata-kata. “Bung, ayo bung!”. Kata-kata yang dipungut Chairil dari pelacur-pelacur Jakarta yang menawarkan diri mereka. Selesailah poster bersejarah itu. Yang kemudian diperbanyak untuk disebarkan ke daerah-daerah.

Belanda melancarkan agresi. Membuat situasi politik di ibukota jadi tak menentu. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Jogja. Diikuti pula oleh para pelukis. Jogja jadi pusat kegiatan seni lukis. Membuat Affandi sering ke sana. Di Jakarta ia dirikan Gabungan Pelukis Indonesia. Di masa itu lahir salah satu karyanya yang terkenal; ”Mata-Mata Musuh”.

Pernah juga ia menjadi salah satu pimpinan Lekra bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung dan yang lain. Affandi punya cerita unik di sini. Saat itu tahun enam puluhan. Saat AS mengagresi Vietnam. Di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sedang marak gerakan penolakan agresi AS itu. Segala macam bentuk kebudayaan barat ditolak negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan pameran di Gedung USIS Jakarta. Ia mau. Setelah itu ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.

Kebesarannya mulai terlihat. Ia mendapat beasiswa dari India untuk sekolah di Shantiniketan Art School, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Uniknya sampai di sana ia ditolak. Alasannya di dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India. “Potret Diri dengan Tujuh Matahari” tercipta di sana.

Selesai dari India bertolak ke Eropa. Melakukan perjalanan dari London hingga Den Haag. Di perjalanan ia temukan jati dirinya. Ia yakin dengan posisinya di dalam konstelasi seni rupa dunia. Ekspresionisme telah menemukan tuannya.
Pun begitu, ia sendiri tak tahu kalau karya-karyanya itu beraliran ekspresionis. Sebelum diberi tahu oleh kritisi-kritisi barat. Menurut mereka Affandi memberi corak baru aliran ekspresionisme. Saat ditanya apa konsep dan aliran lukisannya, Affandi malah balik tanya. Aliran apa itu?

Tanah angker dan berharga murah
Peraih gelar Grand Maestro dari Italia itu pulang ke tanah air. Tahun 1961. Ia putuskan untuk pindah ke Jogja bersama seluruh keluarga. Tepatnya di Jalan Laksda Adi Sucipto yang menghubungkan Jogja dengan Solo. Di tepi sebelah barat sungai Gajahwong yang membelah Jogja di sebelah timur. Sepetak tanah yang lumayan luas; 3500 m2. Ia tertarik di situ bukan karena harganya yang murah. Tanah tersebut terkenal angker dengan rimbunnya pohon kamboja layaknya kuburan. Itu yang membuatnya penasaran.

Mulailah ia merancang sendiri rumahnya. “Pada suatu hari, saat di sawah hujan datang tiba-tiba. Ia lihat pohon pisang. Dipetiklah daunnya buat berteduh sementara. Ia terilhami kejadian itu. Ia terobsesi daun pisang. Daun yang bisa meneduhi di kala hujan atau terang.” Cerita Setiawan, salah satu staf pengelola. Bentuk daun pisang ia aplikasikan pada atap rumahnya yang kelak ia pakai juga untuk galerinya. Ia juga terilhami bentuk dangau sawah sebagai bentuk rumahnya. Jadilah rumah panggung dua lantai. Lantai atas adalah kamar pribadinya dengan Maryati, istrinya. Ada teras menghadap selatan yang memungkinkan Affandi melihat pekarangan rumah, sungai serta kesibukan jalan raya. Di bawah tempatnya menerima tamu serta garasi Colt Galant mobil sport kesayangannya. “Affandi itu punya banyak koleksi mobil sport Mustang, Jaguar, kebanyakan dua pintu. Colt Galant itu kesayangannya. Dulu pas orang Mitsubishi berkunjung ke sini, mereka tertarik untuk membelinya dengan harga tinggi. Juga nawari untuk ngijoli sama yang seri baru. Tapi Affandi ndak mau,” lanjut Setiawan.

Affandi ingin punya galeri untuk memamerkan sendiri karya-karyanya. Ia bangun sebuah gedung berbentuk spiral lengkung di sebelah barat rumahnya. Gedung itu selesai pada tahun 1962. Saat ini dipamerkan karya-karyanya secara retrospektif dari awal sampai akhir kariernya di sisi timur bawah. Di sisi timur atas terpampang lukisan-lukisan potret diri yang menjadi obyek kesayangannya. Ada Colt Galant uniknya di ujung selatan. Di sisi barat terpasang karya-karya reproduksinya. Juga terdapat benda-benda yang sempat mewarnai kehidupannya. Mulai dari sepeda kumbang, pipa-pipa pengisap asap tembakau sampai sandal jepit yang sering dipakainya. Tergantung pula beberapa penghargaan yang didapatnya dari dalam maupun luar negeri. Gedung ini disebut Galeri I.

Usia menua, membuat Maryati lelah naik turun. Ia minta Affandi membuatkan kamar berperabot lengkap untuk keperluan pribadinya. Maryati ingat caravan. Rumah mobil yang sering ia lihat sewaktu berkeliling Eropa dan Amerika menemani suaminya. Ia minta Affandi membelikannya. Tapi apa daya, sang suami tak bisa. Mengimpor barang sebesar caravan tidak memungkinkan saat itu. Muncul ide Affandi untuk tetap menuruti kemauan istrinya. Dibuatkannya Maryati gerobak dengan ukuran besar. Seperti yang diinginkan Maryati, gerobak ini berperabot serta bertata ruang lengkap. Dari lemari dan kulkas hingga dapur dan kamar mandi. Ide gerobak ia rasakan pas dengan rumah dangaunya. Saat ini dialihfungsikan sebagai musholla.

Affandi yang malas mandi juga punya kolam renang. Letaknya di teras bawah. Ia dapat ide bentuk ikan cucut yang menghadap selatan. Tak tahu kenapa, suka saja. Di hari biasa dua kali sehari atau saat selesai melukis ia biasa menceburkan diri. Ditemani Maryati dengan busana lengkap. Atau saat hari libur saat berkumpul bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Sambil menggelar tikar dan makan bersama. Seringnya karedok atau gado-gado.
Suharto sangat bersimpati dengan Affandi. Affandi telah mengharumkan nama negara. Ia beri bantuan Affandi biaya pendirian sebuah gedung di samping Galeri I. Membujur dari barat ke timur. Selesai di tahun 1988. Dinamakan Galeri II. Tempat lukisan teman-teman Affandi. Seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Fajar Sidik, dan lain-lain. Sekarang, sering disewakan kepada pelukis-pelukis yang ingin mengadakan pameran atau sekadar “nitip” lukisan.

Galeri III. Bangunan 3 lantai yang didirikan tahun 1997 oleh Kartika, anaknya. Di sini tempat karya-karya keluarga Affandi. Ada sulaman Maryati. Ada lukisan Kartika yang mengikuti jejak ayahnya. Pelukis ekspresionis “on the spot” tidak memakai kuas. Melukis langsung dari tube cat dan memakai tangan kiri bila perlu. Cara melukis seperti itu tak tahu kenapa juga turun ke Didit, cucunya dari Kartika. Lukisan-lukisan Didit dipamerkan di Sorrandu Gallery. Masih satu areal dengan museum. Di sebelah kolam renang tepatnya.

Affandi meninggal 23 Mei 1990. Sebelum meninggal ia minta anak cucunya apabila meninggal ia minta dikuburkan diantaranya lukisan-lukisannya dan disebelahi Maryati. Ia bahkan sudah memilih tempatnya. Diantara Galeri I dan II. Permintaan terakhirnya terkabul. Ia dikubur di situ, ditemani Maryati yang menyusul wafat pada 26 Mei 1991. Affandi dikubur diantara karya-karyanya. Disatukan menjadi sebuah museum laiknya memoar. Memoar milik satu diantara sedikit orang yang berani dan mampu melanggengkan mimpi-mimpi dan ide-idenya sampai dijemput ajal. “Affandi itu hidupnya suka-suka aja. Sering orang disekitarnya juga ndak tahu jalan pikirannya,”akhir Setiawan.

Minggu, 10 Mei 2009

Joker dan Dekonstruksi Order dalam The Dark Knight

The Dark Knight membaurkan oposisi biner tradisional antara baik-jahat, terang-gelap dan teman-lawan. The Dark Knight adalah pertunjukan dekonstruksi film superhero. Christopher Nolan, sang sutradara menempatkan Joker yang diperankan dengan sangat mengesankan oleh Heath Ledger, sebagai pendekonstruksi order itu.

Status semiotika Joker diceritakan bahwa ia tak punya nama, tak punya sejarah apalagi identitas. Saat ia tertangkap polisi ia ditemukan tak berjejak, tak teridentifikasi. Puncaknya saat ia menceritakan riwayat bekas luka di wajahnya yang menggabungkan dua hal yang bertolakbelakang antara narasi oedipal dan rasa bersalah yang kompleks. Dan dari situ Joker bertindak sebagai perusak batas teritorial dari tatanan sosial yang dominan atas tokoh-tokoh lain. Nampaknya mirip dengan tokoh Joker di Misteri Soliter karya Jostein Gaarder itu. Kartu remi adalah contoh tepat bagaimana keteraturan bekerja. Namun hal itu tak berlangsung lama hingga Joker datang untuk mengacau. Ia mampu masuk ke kelompok manapun, tapi tidak termasuk kelompok manapun. Joker selalu bertanya ini-itu. Namun ia pintar dan tahu segalanya. Layak pula direnungkan jika Joker dalam The Dark Knight adalah cerminan konsep Übermensch milik Nietzche. Ia selalu membongkar nilai-nilai. Sistem nilai lama hanya menghasilkan manusia yang bingung, lemah dan senantiasa menderita. Joker membuktikan keyakinannya dengan mengadu identitas dalam diri setiap tokoh-tokoh lain. Motivasi kejahatannya bukan uang tapi melihat kekacauan, kebingungan. Ia adalah chaos (kekacauan) diantara cosmos (keteraturan).

Joker selalu nampak bercanda setiap menjalankan aksi-aksi sadisnya. Dan terlihat tak pernah berpikir panjang tatkala berdialog dengan tokoh-tokoh lain. Seperti saat ia berbicara dengan Harvey Dent (Aaron Eckhart), jaksa wilayah harapan kota Gotham. “I’m a dog chasing cars. I don’t have plans. I just do things. I’m not a schemer.” Dan saat mengritik Batman,”Why so serious?” Alih-alih gila atau menderita schizofrenia, ia justru sadar sesadar-sadarnya. Joker dalam sekuel Batman ini memang menjadi tokoh utama. Joker versi The Dark Knight pantas disandingkan dengan tokoh Hannibal Lecter dalam Silence of the Lambs.

Dalam film ini Joker berhasil memberi situasi dilematis kepada tokoh lain. Terutama kepada Batman (Christian Bale). Batman dan Joker adalah ibarat dua sisi mata uang. Bertolakbelakang namun saling membutuhkan. Dan hanya Joker yang menyadarinya. Joker hanya berkonsentrasi pada penanaman dilema bukan membunuh Batman. Semua ia lakukan hanya untuk membuat Batman tersiksa dan keluar dari batas teritorialnya. Pernyataan Joker pun menjadi bermakna,”I don’t want to kill you. What would I do without you?”

Batman yang tak mengenal batas yurisdiksi hukum-sehingga dijuluki The Dark Knight- ternyata memiliki kelemahan yang disadari Joker. Ia culik Rachel Dawes (Maggie Gyllenhal), wanita yang Batman dan Harvey Dent sama-sama cintai. Joker menetapkan aturan bahwa Batman hanya boleh memilih salah satu dari mereka untuk ditolong. Salah satu dari mereka akan mati. Batman bingung karena ia sangat mencintai Rachel namun juga tak mau terus-terusan menjadi seorang hakim jalanan. Ia menggantungkan harapan kepada Harvey sang The White Knight. Joker menempatkan Batman pada situasi harus memilih antara hasrat dan kewajiban simbolisnya sebagai pembela kebenaran. Batman juga manusia, ia memilih Rachel untuk ia tolong. Di sinilah Joker nampak sebagai dalang. Ia tahu Batman bakal memilih Rachel. Makanya ia memberikan informasi yang salah, yang ia tolong justru Harvey. Dari sini Joker merusak identitas Batman sebagai pahlawan.

Dari sini pula Joker menghancurkan identitas Harvey. Ia berharap Batman akan menolong Rachel yang ia cintai. Ia kemudian menambah daftar musuh besar Batman dengan meredifinisi dirinya menjadi tokoh Two-Face.

Situasi dilematis lain dibuat Joker dengan membuat dua kelompok warga Gotham berada di dalam dua kapal feri di tengah laut. Satu berisi warga Gotham baik-baik dan yang satu berisi para narapidana. Joker menetapkan aturan bahwa kedua kapal akan diledakkan. Joker berkompromi untuk hanya meledakkan satu kapal dengan catatan satu kapal harus meledakkan kapal lain. Masing-masing pemicu ledak diletakkan di kapal warga Gotham yang baik dan narapidana. Joker memberi waktu beberapa saat kepada kedua kapal untuk memutuskan meledakkan kapal lain. Di sini Joker mengadu hasrat primordial dan kemanusiaan dua kelompok warga itu.

Dimuat di Jurnal Tanda Edisi Perdana

Senirupa Semarang Riwayatmu Kini

Mengawali tahun 2009 geliat seni kota Semarang dimeriahkan dengan kedatangan seniman-seniman besar untuk berpameran di beberapa galeri. Di antaranya Eko Nugroho, Nindityo Adipurnomo dan Arie Dyanto.

Ketiganya berasal dari Yogyakarta. Untuk Eko Nugroho dan Arie Dyanto patut diberi catatan. Kedua seniman muda ini amat konsisten dengan ciri mereka. Eko aktif berekspresi menggunakan media komik dengan Dagingtumbuh-nya. Arie yang mengusung semangat urban eksis dengan street art dan lowbrow-nya. Terakhir Galeri Semarang menggelar pameran bersama yaitu Soni Irawan dan Farhan Siki. Keduanya berpameran dengan konsep yang mirip dengan pameran sebelumnya yakni street art.

Jika ditelaah, langkah Galeri Semarang, yang notabene adalah galeri komersil, dengan menggelar pameran Eko Nugroho dan Arie Dyanto bisa dibilang mengejutkan. Eko dan Arie eksis dan konsisten dengan karya-karya yang amat personal dan bernapas alternatif. Seniman seperti Eko dan Arie aktif berpameran di wilayah residensi baik di dalam maupun luar negeri. Mereka sebelumnya nampak jauh dari kepentingan galeri komersil. Namun apakah seiring dengan seringnya mereka terekspos media membuat galeri tersebut menjadi tertarik untuk memamerkan mereka? Hadirnya karya seperti mural, instalasi dalam pameran itu mengisyaratkan kecenderungan galeri itu mulai larut wacana senirupa kontemporer. Chris Darmawan, pemilik Galeri Semarang, menulis dalam pengantar pameran “Street Noise” Farhan Siki dan Soni Irawan (2009),”Tetapi itulah tren yang terjadi pada sekarang ini. Dan gejala ini tetap harus dirayakan minimal sebagai salah satu alternatif aktualisasi dan apresiasi senirupa kontemporer di Indonesia.” Inikah pasar senirupa kita saat ini?

Pameran-pameran tersebut mendapat atensi yang cukup baik dari masyarakat senirupa Semarang. Audien yang kebanyakan berasal dari kalangan anak muda itu meramaikan dengan menyaksikan pameran-pameran tersebut. Namun apakah hal itu bisa menjadi sinyal positif geliat senirupa Semarang? Toh, seniman-seniman yang berpameran tersebut tidak berasal dari Semarang. Sebenarnya bagaimana kondisi senirupa Semarang termutakhir?

Berkubang pada Banyak Persoalan
Kondisi senirupa Semarang masih berkubang pada banyak persoalan. Pertama, ketidaksiapan infrastruktur senirupa di Semarang. Ada beberapa institusi pendidikan senirupa di Semarang namun belum mampu mencetak perupa yang mampu bersaing dengan perupa dari Yogyakarta atau Bandung. Jurusan Senirupa Universitas Negeri Semarang misalnya, masih tertinggal akan wacana senirupa teranyar.

Ketertinggalan institusi ini dipengaruhi beberapa faktor. Calon mahasiswa yang ingin serius menjadi seniman tentu akan berpikir beberapa kali untuk masuk Jurusan Seni Rupa Unnes khusunya untuk bidang studi seni rupa murni. Mereka akan memilih masuk ISI Yogyakarta atau ITB Bandung untuk mengembangkan kariernya. Motivasi dari mayoritas calon mahasiswa itu tak lain tak bukan adalah menjadi pengajar. Unnes yang eks Ikip Semarang itu memang terkonsentrasi untuk mencetak pendidik.

Di sisi lain pengajar di institusi ini juga terkesan abai dengan perkembangan senirupa. Mereka terkesan mapan dengan ilmu yang sudah dimiliki. Dari sini mahasiswa yang kritis akan cenderung melawan institusinya. Mereka kemudian merintis gerak alternatif untuk mencari peluang mengembangkan karier kesenimanannya kendati sering tak jelas arahnya. Maka wajar jika amat sedikit perupa nasional yang beralmameter Jurusan Seni Rupa Unnes. Sebenarnya ada secercah harapan dengan dibukanya jurusan Desain Komunikasi Visual di beberapa institusi pendidikan lain di Semarang namun mereka masih membutuhkan waktu untuk meramaikan iklim kreatif di Semarang.

Kedua, tidak bersatunya para pemangku kepentingan dan komunitas senirupa maupun kreatif di Semarang untuk membangun iklim senirupa yang kondusif. Sebenarnya kondisi ini tidak terlalu berpengaruh pada minimnya geliat senirupa Semarang jika para pelaku-pelaku itu konsisten di jalurnya. Yang ada malah sentimen untuk bersaing dan memperebutkan pengaruh. Keberadaan rumah seni dan galeri juga terkesan berjarak dengan jarang menampilkan seniman dari kota Semarang sendiri. Seharusnya ruang-ruang itu lebih peduli untuk memberdayakan perupa-perupa di Semarang untuk menemukan peluangnya. Hal itu juga diperparah dengan ketiadaan kurator. Alhasil, ruang-ruang itu hanya menjadi persinggahan seniman dan kurator dari luar Semarang sementara tuan rumah hanya menjadi penonton.
Namun, di sisi lain ruang-ruang itu juga berpengaruh dalam memberikan referensi kepada masyarakat senirupa Semarang akan senirupa kontemporer yang sedang berkembang.
Persoalan-persoalan di atas berekses pada persoalan ketiga, yaitu pada nasib perupa-perupa Semarang. Minimnya ilmu dan wacana senirupa akibat “salah asuhan” oleh institusi seni membuat perupa Semarang belum mengenal medan senirupa terkini. Mochammad Salafi Handoyo, Direktur Byar Creative Industry, sebuah organisasi seni rupa di Semarang, memberikan pendapatnya. Organisasi seni nirlaba ini fokus dalam kajian dan memberikan dukungan terhadap perkembangan senirupa. Menurut pengalamannya dalam memanajemen perupa, ia menemukan idealisme berlebihan perupa dalam setiap proses kurasi maupun penelitian yang dilakukan oleh kurator dari luar Semarang yang ia undang. “Minimnya ilmu dan informasi yang diberikan oleh institusi seni menyebabkan tidak berkembangnya pola pikir seniman. Padahal jika seniman mau lebih bekerjasama dengan kurator maka akan ditemukan karakter seniman Semarang sebagai nilai pembanding baik kualitas, kecenderungan dan psikologis seniman Semarang dari kota lain. Ke depan kedudukan senirupa Semarang akan mempunyai nilai tawar yang jelas,” terangnya.

Kemudian, perupa Semarang cenderung acuh untuk mendokumentasi setiap proses karyanya. Padahal dengan adanya dokumentasi bisa dilihat perjalanan karier perupa dan dinilai kecerdasannya. Kecerdasan Eko Nugroho tak hanya diukur dari karyanya saat ini tapi juga dedikasinya yang konsisten selama lebih dari 10 tahun dengan karyanya. Semua itu hanya bisa dicapai jika disertai dengan dokumentasi yang baik pula.
Kondisi senirupa Semarang akan membaik jika ada gerak-gerak alternatif yang membantu perupa dalam memanajemen dirinya demi menemukan peluangnya. Gerak itu dijalankan dengan dua cara. Pertama, bernegosiasi dengan segmen atau infrastruktur seni dengan dasar saling menguntungkan. Kedua, jika tidak mau bernegosiasi dengan segmen tersebut, maka yang harus dilakukan adalah menciptakan ruang, sistem, manajemen, media dan sumber dana sendiri.

Sebenarnya ada potensi besar dari perupa-perupa Semarang. “Perupa-perupa Semarang punya karakteristik. Karya – karya seniman mudanya saat ini lebih variatif dan kreatif dengan berusaha meninggalkan pengaruh kecenderungan teknik karya baik dari Yogyakarta maupun Bandung. Serta mengambil dasar konsep melalui wacana yang sangat ringan. Merespon hal-hal yang terdekat dengan dirinya, bahkan bersifat pribadi,” lanjut Salafi.

Dimuat di Majalah "Gong" Edisi 1099/10/2009

Rabu, 22 April 2009

Ketika Kelamin Tak Mampu Batasi Gender

Film Transamerica

“Dulu ada satu gadis ini di perguruan tinggi,” Bree (Felicity Huffman) merenung, “tapi semuanya adalah kehidupan seorang lesbian yang tragis, aku berusaha untuk tidak mengingatnya lagi.” Tetap saja Margaret (Elizabeth Pena) memaksa Bree harus bertemu dengan anaknya dulu sebelum operasi kelamin dilakukan.

Stanley Shupack telah berganti nama menjadi Sabrina (Bree) Ousborne setelah tiga tahun menjalani terapi hormon dan baru sebentar melakukan operasi silikon. Suaranya berubah, dadanya makin montok. Kurang satu hal lagi untuk memastikan dirinya menjadi perempuan yaitu operasi kelamin. Sebenarnya kurang seminggu lagi operasi kelamin dilakukan. Tapi dihadapan terapisnya, Bree keburu ingat bahwa 17 tahun yang lalu dia pernah punya anak.

Penuh rasa malas, Bree meninggalkan Los Angeles menuju New York menjemput Toby (Kevin Zegers) -seorang anak penuh dengan masalah yang bercita-cita menjadi bintang film porno-. Toby dipenjara akibat kasus narkoba. Bree –melabur wajahnya dengan make-up dengan amat tebal- mengaku bahwa dia adalah misionaris gereja yang diutus untuk menyembuhkan Toby. Toby -yang memang tidak tahu harus ke mana- percaya saja kepada Bree.

Drama pun diseting mulai dari perjalanan pulang ke New York. Sepasang “ayah” dan anak itu mampir dulu ke Kentucky untuk mempertemukan Toby kepada ibunya. Ternyata ibu Toby yang telah lama berpisah dengan Stanley mati bunuh diri.

Perjalanan pun dilanjutkan. Bree mengajak Toby menemui rekan-rekannya, komunitas wanita transeksual di Arkansas. Pada perjalanan menuju Arkansas, Toby, secara tak sengaja mengetahui Bree adalah laki-laki pada saat buang air. Sepanjang jalan Toby tak henti-henti menghina Bree. “I’m not a transvestite. I’m a transsexual woman,” bela Bree.

Setelah mampir di Arkansas, Bree mengajak Toby menemui orang tuanya di Phoenix. Disini Bree berniat meminta restu kepada orang tuanya sekalian meminjam uang untuk keperluan operasi. Tentu saja sambutan yang tak mengenakkan diterima Bree. Campuran antara gumun, malu dan apatis adalah yang dirasakan Bree pada saat “pertama kali” berhadapan dengan mereka. Saudari perempuan yang tak menyenangkan, orang tua yang vulgarian ditemui Bree disini.

Memegang bagian bawah tubuh Bree, untuk mengecek pra atau pasca operasi kelaminkah anaknya adalah salah satu tanggapan yang diberikan Elizabeth, ibu Bree (Fionnula Flanagan). “Ketahuilah, ibu tak pernah punya anak laki-laki,” balas Bree.

Lama-kelamaan Toby mulai bersimpati kepada Bree atas usaha menunjukkan identitas keperempuanannya. Akhirnya simpati ia tunjukkan dengan menyatakan rasa cintanya kepada Bree...

Keraguan
Kehidupan di wilayah “abu-abu”, itulah yang disajikan Tucker di sini. Kita akan merasakan redefinisi ala ala sang sutradara akan pengertian transeksual. Wanita transeksual adalah wanita yang sebenar-benarnya menurut Tucker. Mereka hanya “dikaruniai” tempat yang tidak pas. Tinggal tunggu waktu saja untuk kembali ke tempat yang seharusnya. Singkatnya, laki-laki atau perempuan bukan ditentukan oleh kelamin tapi hati. ”We don’t against gender, We were only granted to be men. People like you just look queer at us,” kata rekan Bree kepada Toby di komunitas wanita transeksual.

Sedangkan wadam (hawa adam) menurut Tucker adalah cerminan seorang gender yang ragu memilih sekaligus pelabuhan transit yang nyaman ditempati.

Bukan itu saja, penontonpun kembali bingung ketika membahas soal kemana setetes cinta dijatuhkan. Yang kita tahu cinta hanya buta soal harta dan kedudukan. Mungkin soal gender (homo dan lesbian) paling pol. Di sini cinta pun sampai menerobos batas muhrim. Toby mencintai -bak seorang kekasih- ayah kandung yang kemudian akan menjadi ibunya. Bagaimana Bree menjelaskan identitas aslinya kepada Toby?

Kendati begitu, film ini tidak begitu dipandang di ajang Oscar 2005. Juri-juri di sana lebih silau dengan cerita sepasang koboi homo di pegunungan Brokeback yang diusung Brokeback Mountain atau isu-isu rasialisme di Amerika yang menjadi tema Crash. Transamerica hanya menjadi nominasi di dua kategori yaitu aktris terbaik oleh Felicity Huffman dan original song terbaik oleh biduanita country, Dolly Parton.

Sungguh sebuah peran yang unik sekaligus komplek bagi Huffman. Mungkin alasan pertama Tucker memilih Huffman berperan sebagai Bree adalah keunikan wajah Huffman yang mirip laki-laki. Berbekal pengalaman berperan sebagai seorang ibu yang frustrasi menghadapi anak-anaknya yang hiperaktif di serial Desperate Housewives, Huffman menjawab tantangan ini dengan sempurna. Perannya sebagai wanita transeksual sangat natural. Mulai dari suara yang ala wadam hingga mimik wajah maupun tubuh. Bukan itu saja, sosok wanita yang keras hati mempertahankan status hawanya plus sabar yang keibuan –terutama kala menghadapi Toby- menghadapi kontroversi lingkunganpun ia perankan dengan sangat baik. Di banyak ajang penghargaan Huffman dinominasikan sebagai aktris terbaik. Ia menang di Golden Globe tapi dikalahkan Reese Witherspoon (Walk The Line) di ajang Oscar.

Sampah, Jago, dan STW

Sepanjang Jalan Kepodhang, bangunan-bangunan tua dengan tinggi rata-rata lebi dari lima meter saling berhadapan. Bayangan yang terbentuk meneduhi jalanan. Satu dua kendaraan lewat. Diiringi bau pesing semriwing.

Hampir 2 jam Bang Kadir ada di kantor Samsat Semarang untuk memperpanjang masa berlaku SIMnya yang dua hari lagi hampir habis. Biarpun lima tahun sekali, mengurus perpanjangan SIM ternyata menguras tenaga dan kesabaran. Bolak-balik antri dari satu loket ke loket lain, menunggu panggilan, belum lagi merasakan panasnya kemarau, membuat bang Kadir hampir frustasi.

Cuplis si ponakan yang menemani, duduk deleg-deleg menunggu sang paklik di jejeran bangku depan loket. Akhirnya SIM baru didapatkan setelah hampir 3 jam perjuangan. Bang Kadir yang sudah keroncongan mengajak Cuplis makan di warung nasi kucing seberang kantor. Jalan Gelatik kendati jalan searah siang itu sulit diseberangi. Laju kendaraan berkecepatan di atas 50 km/jam membuat mereka menunggu setidaknya selama 5 menit. Cuplis yang baru pertama kali diajak ke kantor Samsat cuma clingak-clinguk ke sana ke mari melihat pemandangan yang baru kali pertama dilihat.

“Bang Kadir tak jadi menyeberang ke warung nasi kucing, alih-alih menggeret tangan si Cuplis berjalan ke arah Jembatan Berok. “Jalan-jalan sik wae sisan mumpung neng kene, itung-itung nyenengke cah kuper iki,”batinnya.

“Tak andani yo nang, jenenge landha kan wis tau njajah Indonesia mesti yo mrene barang to yo,”jelasnya. “IMMANUEL!”eja Cuplis. “Wong Semarang nyeluke Greja Blenduk nang!”timpal Bang Kadir. “Oo aku ngerti bang, mesti amargo gendhenge mblendhuk yo bang?”tanya Cuplis yakin. Bang Kadir diam saja, mungkin deru kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi konsentrasinya pecah. Terlalu ramai plus cuaca panas, bang Kadir kemudian berbelok ke sebuah gang menuju jalan Kepodhang. “Wah nek koyo ngene, landhane ra kopen yo bang,” Cuplis berkata sambil menunjuk ke selokan yang mampet karena sampah. “Yo mungkin ngene Plis mikire wong-wong dhuwur, kene kan Kota Lama, dadine ra mung gedhong-gedhonge thok sing lama, sampah-sampahe barang kudu “lama”,” ujar Bang Kadir. Cuplis yang telmi cuma mengangguk canggung.

Sampailah mereka di pertigaan jalan Kepodhang. Mereka berdua berjalan ke arah Kali Semarang. “Wah aku rak wani lunga mrene bengi-bengi bang,” ujar Cuplis. “Aku wae rak wani og,” timpal Bang Kadir sambil melihat sebuah gedung tua yang mirip kastil vampir di Pennsylvania. “Kene nek bengi ki akeh premane,” ujar bang Kadir. Mereka meneruskan perjalanan. Bangunan-bangunan tua dengan tinggi rata-rata lebih dari lima meter saling berhadapan sepanjang jalan Kepodhang membuat suasana teduh. Pun kendaraan hanya satu dua yang lewat.
“Bang, apik ik ana ringin (beringin) iso tukul ning tembok,”seru Cuplis sembari menunjuk sebuah gedung yang ditumbuhi pohon beringin.

“Iyo ik, mungkin kene mengko iso dadi cagar alam perlindungan wit ringin yo plis he he he,” balas Bang Kadir sambil tertawa setelah melihat ternyata ada banyak pohon beringin menclok di gedung-gedung tua sepanjang jalan.”Bang, nek kawasan Kota Lama didadekke obyek wisata mesti apik yo bang?”tanya Cuplis.”Oo wis ket mbyen, kawasan kene ki yo dilindungi undang-undang lo,” jelas Bang Kadir. “Dilindungi piye, malah podho rusak’,”tanya Cuplis menyalahkan. “Yo mungkin mikire wong-wong dhuwur kan, bangunan kene rak entuk diowah-owah dadi yo dijarke koyo ngene,” jelas bang Kadir.

Mereka sampai di sebuah pertigaan. Di seberang kanan depan sebuah gedung tua, ada keramaian kokok ayam-ayam. Ternyata hanya ada ayam-ayam jago. Ada yang dikurung, ada yang dielus-elus, ada pula yang dikempit. Serta sekumpulan mayoritas laki-laki yang mungkin melakukan transaksi jual beli.

“Bang, ana pasar pithik barang, pithike jago kabeh,”seru Cuplis sembari menunjuk. Satu dua orang di sana memandang tajam ke arah mereka berdua. Melihat gelagat kurang baik, Bang Kadir menggeret lagi tangan si Cuplis dan berjalan cepat ke pinggir Kali Semarang, tempat pemberhentian terakhir angkot-angkot oranye Semarang .

Bang Kadir mengajak Cuplis menuju jalan Mpu Tantular, niatnya memperlihatkan si Cuplis Polder Tawang. Kira-kira lima belas menit berjalan sampailah mereka di polder. Mereka duduk di sebuah ambalan menghadap Stasiun Tawang sembari melepas lelah.

“Ki lo nang sing jenenge polder, dibangun ben nggo ngelongi banyu rob saka laut,”jelas Bang Kadir. “Ambune!”seru si Cuplis sambil menutup hidung dan melihat air polder yang berwarna kehijauan. Mereka hanya sanggup “bertahan” lima menit duduk di sana. Bau mirip bau kentut mengganggu pernafasan mereka.

Bang Kadir dan Cuplis berbalik dan melihat sebuah bangunan berpintu banyak serta tembok yang tidak utuh lagi. Mereka berjalan menuju ke sana. Di sebuah lubang besar yang sepertinya bekas pintu yang yang jebol, mereka melihat warung makan yang ditunggui seorang wanita. “Ma’em mas!” seru si penjual. Tempat itu sepi dan gelap. Meski lapar Bang Kadir tidak berselera makan. Bau busuk menggelitiki rongga hidungnya.

Mereka memutuskan kembali ke warung nasi kucing depan Kantor Samsat. Ternyata banyak pintu yang tak terkunci di gedung tua itu. Bang Kadir yang agak grathil membuka salah satu daun pintu. Cuplis ada di belakangnya.

Sesaat setelah membuka pintu, “ayo mas melbu wae, anake dijak sisan yo ra po-po,” sapa seorang wanita STW berdandan menor serta berpakaian ketat. Cepat-cepat ia menutup pintu kembali dan menggeret lengan Si Cuplis dan langsung mengambil langkah seribu. “Asem! Pengene seneng malah senep,” sesal Bang Kadir.

“Ana apa to bang,” Cuplis yang kewalahan mengikuti Bang Kadir. “Ana setane yo bang?” tanyanya polos.

Dipublikasikan di tahun 2006

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,....

Pernahkah kita bertanya mengapa kita menulis dengan huruf latin tidak honocoroko seperti leluhur kita? Atau huruf sanskrit yang merupakan nenek moyang dari mayoritas huruf yang tersebar di Nusantara? Mengapa alfabet dianggap lebih mudah ketimbang huruf arab atau honocoroko yang silabik?

Jika kita telisik sejarah, huruf latin menurut McLuhan awalnya adalah huruf bangsa Funisia yang merupakan representasi grafis dari fonem yang mereka ucapkan. Representrasi fonem itulah yang kemudian diambil oleh bangsa Romawi melalui bangsa Yunani dan Etruska. Maka lahirlah huruf latin. Alasan Romawi memakai huruf dari Funisia adalah karena huruf Funisia lebih mudah dipahami daripada huruf Mesir kuno atau Cina yang berkutat dengan gambar bersatuan pengertian yang jumlahnya amat banyak dan sulit dipelajari. Dengan tingkat kesulitan yang tergolong rendah, kata McLuhan lagi, mulai dari sinilah bangsa barat mempromosikan huruf “latinnya” dan kemudian berhasil menguasai hegemoni bidang komunikasi serta di bidang-bidang lain.

Bicara hegemoni, keberhasilan dunia barat dalam menguasai hampir seluruh sendi-sendi kehidupan tidak bisa dilepaskan dari jasa Johann Gutenberg. Semua hasil pemikiran manusia yang tertulis dapat diperbanyak dengan mesin cetak temuannya. Kopian ilmu filsafat, sastra, kepercayaan barat tersebar ke belahan dunia timur, dibawa penjelajah Eropa. Mulai dari sinilah bangsa timur termasuk Indonesia mulai tertarik dalam hegemoni dunia barat.

Bangsa yang tak punya huruf
Di jok belakang sebuah taksi di jalanan kota Tokyo pada malam hari, duduk tertidur Bob Harris (Bill Murray) seorang bintang film yang mulai redup ketenarannya. Lelah sehabis perjalanan udara selama hampir 24 jam dari New York, kembali tidur setelah sempat terbangun. Pada saat terbangun Bill sempat melihat suasana malam Tokyo yang dipenuhi kelap-kelip lampu. Frustasi-frustasi yang terakumulasi terlihat dari wajahnya...

Kita tidak akan menganalisis kefrustasian Bob akan krisis paruh bayanya, kita hanya menganalisis bagaimana Bob yang makin frustasi setelah melihat suasana kota Tokyo yang begitu asing. Keasingan yang membuat ia muak adalah semua yang ia lihat tidak bisa ia baca. Tulisan kanji yang berkelap-kelip membuat ulu hatinya makin tertohok. Ia memilih tidur dan berharap semoga cepat sampai di hotel. Potongan adegan dari film Lost in Translation di atas menurut sang sutradara, Soffia Coppola memang terinspirasi oleh kehidupannya sendiri di Tokyo sebagai pendatang. “Rasanya sangat asing, seperti di planet lain, dan jetlag menjadi puncaknya,” selorohnya di sebuah media massa.

Dari ilustrasi di atas penulis akan memberikan ilustrasi lain. Sekutu gagal menembus Cina, di bawah otoritarian Mao Ze Dhong lah Cina disebut sebagai negeri tirai bambu. Sekarang, huruf kanji China selalu terpampang di setiap umbul-umbul kala festival Cap Nggo Meh di Indonesia. India, mengacuhkan Inggris dengan Swadesi yang diusung oleh Mahatma Gandhi. Dan sampai saat ini, huruf India selalu nampang di bagian akhir setiap film Bollywood. Dari dua ilustrasi tersebut penulis akan beralih pada sebuah bangsa yang sama seperti ketiga bangsa di atas, tak bisa lepas dari intervensi “asing” (baca: barat) sejak dulu kala.

Selama masa pergerakan nasional foundingfathers kita, -mungkin saking kooperatifnya dengan penjajah- kala merumuskan Sumpah Pemuda, melupakan satu hal yang potensial. Satu aksara! Padahal ingat, kita punya banyak aksara daerah. Mungkin juga mereka berpikir saking beragamnya aksara-aksara Nusantara maka aksara latin sajalah yang dipakai untuk memermudah menjalin persatuan dan kesatuan.

Sekarang mari kita lihat kondisi riil bangsa kita sekarang. Budaya indigenous kita sudah pasti luntur dengan budaya advertising barat-memang pergeseran budaya bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia-. Akan tetapi setidak-tidaknya bila memiliki huruf sendiri, mungkin saja kita tidak begitu mudahnya mengekor budaya barat sampai-sampai kurang pede bila kulit kurang putih, rambut kurang lurus atau hidung kurang mancung.

Kalau kita membicarakan Jepang -penulis tidak akan membicarakan perkembangan iptek Jepang- demam harajuku sedang melanda di dunia anak muda sekarang. Atau populer mana sekarang, Shinichi Kudo dengan Ran atau Mickey Mouse dengan Donald Duck misalnya? Bicara India, mereka bisa berbangga hati karena bisa menyelenggarakan festival film yang hampir menyamai gaung Academy Award tiap tahun. Bicara Cina,-untuk negara ini penulis akan membicarakan perkembangan iptek- tahun 2003 berhasil mengorbitkan Yang Liwei, yuhangyuan (astronot) mereka mengelilingi bumi selama 21 jam. Yang istimewa Yang Liwei bukan meluncur dari Florida tapi dari Gansu, Cina negerinya sendiri.

Terbukti dengan memiliki huruf sendiri negara-negara tersebut memiliki semangat untuk berkreasi, menonjolkan diri, serta semangat untuk mencintai apa yang mereka miliki.

Ketika kita mempelajari sejarah kala SMP, perpindahan dari zaman pra-sejarah ke zaman sejarah adalah dengan ditemukannya tulisan bukan? Kemudian, saat kita membuka bab berikutnya tentang zaman sejarah kita menjadi tahu bahwa tolok ukur beradab dan unggulnya suatu bangsa dinilai apakah mereka sudah memiliki tulisan atau belum kan? - penulis tidak bermaksud bahwa bangsa kita tidak “beradab”-. Kalau kita sudah kadung bangga dengan huruf latin, banggakah kita menggunakan huruf caplokan?

”Budaya unggul harus jadi identitas kita, kalau orang lain bisa mengapa kita tidak bisa. Kalau Malaysia bisa, kenapa kita tidak. Kalau India bisa kenapa kita tidak. Kalau ekonomi China maju kenapa kita tidak bisa maju,” kata Susilo Bambang Yudhoyono, kala meyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, November 2005 silam. Pernyataan beliau memang menggedor kesadaran kita tapi gimana ya? Lha wong untuk mengungkapkan gagasan di atas kertas saja kita jelas-jelas bukan cerminan dari bangsa unggul.

Ada sedikit kegembiraan penulis tatkala pertama kali menemui font Java di komputer milik seorang teman. Tapi setelah penulis teliti, font tersebut hanya font latin rasa honocoroko.

Memang amat muskil meneruskan judul di atas dengan satu frasa lagi, Satu Aksara.....